Saat menginjakkan kaki di Desa Ranggang, Kabupaten Tanah Laut untuk melihat aktifitas warga setempat dalam pembuatan arang kayu, satu hal yang menjadi perhatian adalah tungku arang yang mereka gunakan.
Ingatan saya langsung tertuju kepada Pohon Baobab, pohon purba dan terbesar di dunia dari benua Afrika. Saking besarnya, batang Pohon Baobab bisa dilobangi untuk dijadikan tempat tinggal bahkan rumah makan. Bentuknya mirip sekali dengan konsep tungku arang di Desa Ranggang.
Selain Pohon Baobab di atas, Tungku arang di Desa Ranggang juga mirip seperti rumah hobbit seperti di film Lord of The Rings. Sungguh, ini adalah perjalanan yang bisa membuat imajinasi berkelana membayangkan jika Desa Ranggang selain menjadi sentra pengrajin arang kayu halaban, juga menjadi destinasi wisata unggulan di Kabupaten Tanah Laut.
Itulah gambaran yang terlintas, betapa menarik dan eksotisnya Desa Ranggang untuk dikunjungi. Di tempat ini bisa melihat langsung proses pembuatan arang kayu sambil menyaksikan indahnya perbukitan yang masih hijau.
Namun, satu hal lagi yang membuat saya tercengang saat mengetahui keterampilan warga Desa Ranggang dalam membuat arang kayu memiliki sejarah yang panjang.
“Kalau dirunut dari cerita turun-temurun, keterampilan membuat arang di Desa Ranggang bisa ditelusuri mulai zaman penjajahan Jepang di Kalimantan Selatan. Khususnya di Tanah Laut.
Ilmunya dari mereka itu yang diajarkan kepada warga Ranggang sebelumnya. Orang yang mengajarkan bernama Sambio. Dia orang Jawa yang dibawa tentara Jepang ke tempat ini,” ungkap Saidi, sambil menunjukkan beberapa lokasi tungku arang peninggalan Jepang yang masih ada di Desa Ranggang.
Tungku Arang Kayu Peninggalan Jepang
Melihat langsung sisa-sisa tungku arang peninggalan Jepang yang beberapa sudah terpendam tanah, runtuh dan sebagian masih bisa digunakan memperkuat cerita lisan yang saya dapatkan bahwa Desa Ranggang menyimpan sejarah yang panjang dalam pembuatan arang kayu.
Tungku Arang Kayu
Diungkapkan Saidi pula, tungku arang yang bentuknya seperti kubah dengan kedalaman galian sekitar 1,5 meter tersebut, dan mampu menampung 7-10 orang juga dijadikan tempat persembunyian di malam hari.
“Cerita dari para tetua sebelumnya, saat malam hari mereka bersembunyi ke dalam tungku arang untuk menghindari patroli pesawat tempur Jepang yang menyasar rumah-rumah warga,” ujar Saidi menceritakan kejadian saat itu.
Terlepas dari cerita sejarah di Desa Ranggang, sampai hari ini keberadaan tungku arang kayu di Desa Ranggang sudah mencapai ribuan jumlahnya. Semuanya berfungsi normal memproduksi arang kayu untuk memenuhi kebutuhan pasar yang masih terbilang tinggi.
Seperti diungkapkan Saidi, permintaan pasar tak hanya lingkup lokal di Kalimantan Selatan saja, bahkan untuk memenuhi pesanan dari luar negeri seperti Kuwait, Turki, Bahrain, Dubai, Korea dan Jepang.
Meski terdengar menggiurkan, bukan berarti para petani arang di Desa Ranggang tak memiliki permasalahan yang signifikan.
Dari beberapa cerita yang disampaikan warga, mereka berharap bisa memasarkan langsung kepada pihak pembeli di luar negeri tanpa perantara. Namun, persoalannya terkendala soal pengalaman ekspor, pemanfaatan teknologi informasi, dan masih bekerja secara individu.
“Kami berharap pemerintah daerah bisa memfasilitasi pendampingan dan pelatihan-pelatihan teknis tentang masalah tersebut demi kesejahteraan para petani arang di Desa Ranggang,” ungkap salah seorang warga yang tak ingin disebutkan namanya.
Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah tentang kebutuhan bahan baku. Yakni, pohon kayu Halaban yang selama ini mereka beli dipasok dari luar kabupaten Tanah Laut.
“Saat ini kami bergantung pasokan kayu halaban dari luar Kabupaten Tanah Laut yang suatu saat bisa saja habis. Tak ada salahnya jika di Ranggang ini ada upaya penanaman pohon halaban yang diinisiasi dari pemerintah daerah,” ungkap Saidi berharap.
Tidak ada komentar: