Harie Insani Putra. Tinggal di Banjarbaru. Lahir di Banjarmasin 25 Februari 1981. Seorang Jurnalis dan Sastrawan Kalimantan Selatan. Laman ini didedikasikan untuk karya tulisnya. Selamat membaca.

Golput, Sebuah Pilihan atau Pelarian dari Tanggung Jawab?

Istilah golput seringkali diperdengarkan atau diucapkan oleh orang-orang. Namun, alangkah baiknya jika mengetahui dan menyadari bahwa golput memiliki sejarahnya sendiri baik di Indonesia dan Dunia.

Mumpung masih di tahun politik dan tak lama lagi di setiap daerah; provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah, maka dalam tulisan kali ini saya ingin mengulas kembali pemahaman tentang golput secara luas.

Sekadar untuk menambah wawasan bersama, aroma tulisan ini mengambil dari berbagai macam saripati pemaknaan (sudut pandang) tetang golput. Baik dari sudut pandang politik, filsafat dan agama.

Apa pun hasil dari tulisan ini, bagaimana cara Anda menanggapinya, termasuk pemahaman yang akan diterima, adalah tanggung jawab masing-masing. Jika tak suka, maka tidak perlu membacanya. Kalau suka, cukup di share saja!

Sejarah Golput dalam Politik

Golongan Putih, atau lebih dikenal sebagai "Golput", merujuk pada tindakan sekelompok pemilih yang secara sengaja tidak menggunakan hak pilih mereka atau memilih untuk tidak mendukung calon atau partai manapun dalam pemilihan umum.

Fenomena ini memiliki sejarah panjang dalam politik Indonesia dan juga di berbagai negara lain. Di Indonesia, istilah ini populer pada masa Orde Baru dan telah berkembang dengan berbagai konteks hingga saat ini.

Asal Usul Golput di Indonesia

Istilah "Golput" pertama kali muncul dalam Pemilu 1971, pemilu pertama di bawah pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Pada saat itu, banyak kalangan, terutama para aktivis dan tokoh intelektual, yang merasa bahwa pemilu yang diselenggarakan tidak adil. Mereka menganggap pemerintah Orde Baru memonopoli sistem politik dan menggunakan pemilu sebagai alat legitimasi kekuasaan.

Kelompok ini memutuskan untuk memprotes dengan tidak memilih. Gerakan ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Arief Budiman dan Soe Hok Gie.

Mereka mengkampanyekan gerakan Golongan Putih sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem politik yang dianggap curang. Alih-alih memilih salah satu partai politik yang bertarung, mereka memilih untuk tidak memilih atau memberikan suara yang tidak sah.

Perkembangan Golput Pasca Orde Baru

Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi dengan sistem politik yang lebih demokratis. 

Meski begitu, fenomena Golput tetap ada dalam setiap pemilu, baik di tingkat nasional maupun daerah. Alasan Golput pada era reformasi berbeda dari masa Orde Baru.

Jika sebelumnya dipicu oleh represi politik, kini lebih disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kinerja partai-partai politik atau para kandidat yang maju.

Berbagai survei menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti ketidakpercayaan terhadap politisi, kekecewaan terhadap proses demokrasi, atau sikap apatis masyarakat seringkali mendorong munculnya golput. 

Banyak pemilih merasa bahwa tidak ada calon yang mampu mewakili kepentingan mereka, sehingga memilih untuk tidak berpartisipasi atau tidak menggunakan hak pilih mereka secara sengaja.

Golput di Dunia

Fenomena Golput tidak hanya ada di Indonesia. Di berbagai negara lain, tindakan tidak memilih atau memberikan suara yang tidak sah juga merupakan bentuk protes politik.

Misalnya, di negara-negara seperti Amerika Serikat, tingkat partisipasi pemilih yang rendah kerap kali dikaitkan dengan ketidakpuasan terhadap sistem politik dua partai.

Sementara itu, di negara-negara seperti Prancis dan Italia, ada gerakan serupa di mana masyarakat memilih untuk tidak memilih sebagai protes terhadap sistem politik atau pemerintah yang ada.

Kontroversi Seputar Golput

Golput selalu menjadi isu kontroversial. Sebagian pihak menganggap bahwa tidak menggunakan hak pilih adalah bentuk protes yang sah dalam demokrasi. 

Mereka berpendapat bahwa hak untuk memilih juga termasuk hak untuk tidak memilih, terutama jika tidak ada pilihan yang dianggap layak.

Di sisi lain, ada pihak yang berpendapat bahwa Golput justru merugikan proses demokrasi karena melemahkan legitimasi pemimpin yang terpilih.

Pemerintah Indonesia, baik pada masa Orde Baru maupun reformasi, berusaha menekan angka Golput dengan berbagai cara.

Salah satunya dengan mengingatkan masyarakat bahwa menggunakan hak pilih adalah kewajiban moral dan konstitusional. Namun, upaya ini tidak selalu berhasil mengurangi angka Golput.

Golput dalam Perspektif Filsafat

Golput, atau tindakan tidak memilih dalam pemilu, dapat dilihat melalui berbagai perspektif filsafat politik dan etika.

Dalam filsafat, fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang kewajiban moral, tanggung jawab sosial, dan hak individu dalam konteks partisipasi politik. Dengan kata lain, apakah tindakan tidak memilih dapat dianggap sebagai bentuk protes yang sah atau justru pelarian dari tanggung jawab demokratis

Kebebasan dan Hak Individu

Dalam filsafat politik yang berlandaskan liberalisme, kebebasan individu dianggap sebagai nilai utama. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan pilihan hidupnya tanpa campur tangan negara atau pihak lain, selama tindakan tersebut tidak merugikan orang lain.

Dari sudut pandang ini, Golput dapat dilihat sebagai bentuk kebebasan berpolitik, di mana individu memiliki hak untuk memilih maupun tidak memilih.

Menurut Filsuf  John Stuart Mill, kebebasan individu adalah fondasi dari masyarakat yang baik. Mill menekankan bahwa kebebasan berpendapat dan bertindak, termasuk dalam politik, harus dihormati selama tidak merugikan orang lain.

Maka, Golput bisa dianggap sebagai ekspresi politik yang sah dalam sistem demokrasi yang menghormati kebebasan. Orang yang memilih Golput mungkin merasa bahwa tidak ada calon yang sesuai dengan nilai-nilai atau keyakinan mereka, dan memilih adalah tindakan yang tidak bermakna.

Namun, di sisi lain, Mill juga menekankan pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan publik untuk mencapai kebaikan bersama.

Jika terlalu banyak orang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu, hal ini bisa mengancam keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, Golput bisa dipandang sebagai sikap apatis yang tidak mendukung kesejahteraan kolektif.

Tanggung Jawab Sosial dan Etika Kolektif

Filsafat utilitarianisme, yang juga diusung oleh Mill, berfokus pada pencapaian kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang yang paling banyak.

Dalam konteks politik, ini berarti individu diharapkan berpartisipasi dalam proses politik untuk membantu mencapai hasil yang paling bermanfaat bagi masyarakat.

Dari perspektif ini, Golput dapat dilihat sebagai tindakan yang tidak etis, karena tidak berkontribusi pada proses pengambilan keputusan kolektif yang dapat membawa kebaikan bagi orang banyak.

Selain itu, pemikiran etika deontologis yang dikembangkan oleh Immanuel Kant mengedepankan gagasan tentang kewajiban moral. 

Bagi Kant, setiap individu memiliki kewajiban untuk bertindak sesuai dengan prinsip moral universal, termasuk dalam kehidupan publik. 

Dalam konteks pemilu, hal ini bisa diartikan bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban moral untuk berpartisipasi demi mendukung sistem demokrasi yang adil dan stabil.

Tidak memilih, menurut Kant, bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban moral untuk berkontribusi dalam proses politik yang menyangkut kepentingan bersama.

Golput sebagai Kritik terhadap Sistem

Golput juga bisa dipahami sebagai bentuk kritik terhadap legitimasi sistem politik. Dalam filsafat politik kritis, seperti yang diajarkan oleh Karl Marx, partisipasi politik dalam sistem demokrasi liberal sering dianggap hanya sebagai ilusi kebebasan.

Dalam pandangan ini, pemilu dalam sistem kapitalis sebenarnya tidak menawarkan pilihan nyata kepada rakyat, karena kekuasaan ekonomi dan politik tetap berada di tangan elite. Dari perspektif ini, Golput dapat dilihat sebagai bentuk protes yang sah terhadap sistem yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat banyak.

Filsuf kontemporer seperti Chantal Mouffe dan Jacques Rancière juga memandang politik bukan hanya sebagai soal partisipasi elektoral, tetapi juga sebagai soal perjuangan demokratis yang melampaui pemilu. 

Golput, dalam pandangan ini, bisa menjadi salah satu cara untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem yang ada dan menuntut perubahan yang lebih mendalam. 

Apatisme atau Kewajiban Moral?

Pertanyaan filsafat lain yang muncul terkait golput adalah apakah tindakan ini merupakan ekspresi sah dari hak individu, ataukah bentuk apatisme politik yang dapat merusak demokrasi? 

Filsuf seperti Hannah Arendt menekankan pentingnya tindakan dan partisipasi politik sebagai pondasi dari kebebasan dan kehidupan bersama. 

Bagi Arendt, politik adalah tentang bertindak di ruang publik, dan tanpa partisipasi, demokrasi akan kehilangan vitalitasnya. Dari sudut pandang ini, Golput bisa dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan demokrasi karena merongrong prinsip dasar dari partisipasi publik.

Sebaliknya, jika dilihat dari perspektif filsafat eksistensial, seperti yang diajarkan oleh Jean-Paul Sartre, keputusan untuk tidak memilih bisa dianggap sebagai pilihan eksistensial yang otentik.

Bagi Sartre, kebebasan manusia terletak pada kemampuannya untuk membuat pilihan berdasarkan kesadaran diri, bahkan jika pilihan tersebut tampaknya menentang norma sosial atau harapan. 

Golput, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai cara untuk menyatakan ketidakpuasan mendalam terhadap sistem, di mana individu memilih untuk tidak ikut serta dalam proses yang mereka anggap tidak berarti.

Golput dari Sudut Pandang Agama

Fenomena Golput, atau memilih untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, tidak hanya dapat dianalisis dari sudut pandang politik dan filsafat, tetapi juga dari perspektif agama. 

Sebagian besar ajaran agama mengandung prinsip-prinsip tentang tanggung jawab moral, sosial, dan kewajiban individu terhadap masyarakat.

Dari sudut pandang agama, keputusan untuk tidak memilih seringkali dibahas dalam konteks tanggung jawab terhadap kepemimpinan yang adil dan kesejahteraan bersama. 

Islam: Tanggung Jawab Sosial dan Amanah

Dalam Islam, pemilihan pemimpin adalah salah satu bentuk tanggung jawab sosial dan moral yang harus diperhatikan oleh setiap individu. Prinsip musyawarah dan amanah sangat ditekankan dalam ajaran Islam terkait kepemimpinan.

Memilih pemimpin yang adil dan bertanggung jawab adalah bagian dari kewajiban seorang Muslim untuk memastikan bahwa pemimpin yang dipilih akan bertindak demi kebaikan umat dan melaksanakan hukum serta prinsip-prinsip keadilan.

Dalam hadist Nabi Muhammad SAW bersabda:  
_"Apabila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya."_  
(HR. Bukhari)

 

Dari hadist di atas, banyak ulama menyimpulkan bahwa memilih pemimpin yang tepat merupakan kewajiban yang tidak boleh diabaikan.

Oleh karena itu, dalam konteks pemilu, tidak memilih atau Golput bisa dianggap sebagai mengabaikan amanah untuk memilih pemimpin yang baik.

Islam mengajarkan bahwa setiap individu harus berpartisipasi aktif dalam memilih pemimpin yang adil dan bertanggung jawab demi kemaslahatan bersama.

Namun, ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa Golput bisa dibenarkan dalam situasi di mana semua calon dianggap tidak mampu menjalankan amanah.

Dalam hal ini, umat Islam dihadapkan pada dilema moral: apakah harus memilih calon yang dianggap kurang layak, atau justru abstain sebagai bentuk protes?

Kristen: Kewajiban Moral dan Kasih Terhadap Sesama

Ajaran Kristen menekankan prinsip kasih dan tanggung jawab moral terhadap sesama. Dalam kitab suci, konsep kepemimpinan yang adil juga diakui sebagai bagian dari tanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan.

Surat "Roma 13:1" menyatakan:

_"Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah."_

 

Ayat ini sering diartikan bahwa pemimpin yang berkuasa harus dihormati karena mereka ditempatkan oleh Allah.

Partisipasi dalam pemilu, dengan memilih pemimpin yang dianggap adil dan bertanggung jawab, adalah bentuk partisipasi dalam melaksanakan kehendak Allah.

Tidak memilih atau Golput bisa dianggap sebagai pengabaian tanggung jawab untuk membantu memilih pemimpin yang akan bekerja demi kesejahteraan bersama.

Namun, di sisi lain, jika seorang Kristen merasa bahwa tidak ada calon pemimpin yang mewakili nilai-nilai kekristenan atau tidak membawa kebaikan bagi masyarakat, ada ruang bagi diskusi mengenai apakah abstain bisa diterima sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dianggap tidak adil. 

Hindu: Karma, Dharma, dan Kepemimpinan

Dalam agama Hindu, konsep dharma (tugas moral) dan karma (konsekuensi tindakan) memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan politik. 

Memilih pemimpin yang baik adalah bagian dari pelaksanaan dharma seseorang, karena pemimpin yang baik akan memastikan terciptanya tatanan masyarakat yang sejalan dengan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.

Kitab suci Hindu, seperti Bhagavad Gita, menekankan pentingnya melaksanakan tugas atau dharma, bahkan dalam situasi yang sulit.

Dalam konteks pemilu, memilih pemimpin yang dapat menjaga keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat adalah bagian dari kewajiban dharma seseorang.

Oleh karena itu, Golput dapat dilihat sebagai tindakan mengabaikan dharma sosial dan tanggung jawab terhadap masyarakat.

Namun, dalam situasi di mana tidak ada calon yang layak, seseorang mungkin merasa bahwa memilih adalah tindakan yang sulit karena dapat membawa konsekuensi karma yang buruk.

Dalam keadaan seperti ini, Hindu mungkin memberikan ruang bagi Golput sebagai pilihan moral yang tidak menimbulkan konsekuensi negatif bagi karma individu.

Buddhisme: Kesadaran, Tanggung Jawab, dan Kebenaran

Dalam Buddhisme, prinsip kesadaran penuh dan tindakan benar sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan politik. 

Memilih pemimpin yang baik adalah bagian dari jalan benar (samma ditthi), salah satu dari delapan bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam ajaran Buddha.

Seorang pemimpin yang adil akan menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat untuk hidup dalam kebijaksanaan dan kasih sayang.

Menurut ajaran Buddhisme, tindakan harus didasari oleh kesadaran akan konsekuensi yang akan ditimbulkannya.

Dalam hal pemilu, tidak memilih atau Golput bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat.

Pemilihan pemimpin yang salah atau tidak memilih sama sekali dapat menciptakan kondisi sosial yang buruk, yang pada gilirannya berdampak pada karma dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Namun, Buddhisme juga mengajarkan prinsip jalan tengah, yang berarti seseorang harus mempertimbangkan situasi dengan hati-hati dan memilih tindakan yang paling sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.

Jika tidak ada pemimpin yang dianggap layak, seorang Buddhis mungkin memilih untuk tidak memilih sebagai cara untuk menjaga integritas moralnya. ***

Golput, Sebuah Pilihan atau Pelarian dari Tanggung Jawab? Golput, Sebuah Pilihan atau Pelarian dari Tanggung Jawab? Reviewed by admin on 11.9.24 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.