Harie Insani Putra. Tinggal di Banjarbaru. Lahir di Banjarmasin 25 Februari 1981. Seorang Jurnalis dan Sastrawan Kalimantan Selatan. Laman ini didedikasikan untuk karya tulisnya. Selamat membaca.

Cerpen: Phei Fang

Wangi dupa itu datang lagi. Bunga mawar dan melati juga telah hanyut bersama arus sungai. Saat itulah, di hadapan batang kayu yang sesekali hanyut, ada seorang perempuan sedang mengirimkan doa-doanya di sebuah dermaga.

***

Kau datang lagi ke kota ini. Namun berbeda dari biasanya, kali ini kau datang berdua. Di dalam taksi bandara menuju Banjarmasin, di sampingmu duduk gadis kecil sedang mendekap boneka. 

Saat taksi tiba di hotel, entah apa yang ingin kau kejar, kau hanya turun sebentar lalu bergegas menggandeng gadis kecil itu untuk kembali melanjutkan perjalanan. 

Seperti yang kau minta, sopir taksi dengan sabar mengantarmu menuju jembatan tak jauh dari pusat pertokoan yang dulu sangat terkenal di kota ini. Di situ kau turun tanpa melepaskan peganganmu di pergelangan tangan gadis kecil itu.

Semuanya masih seperti tahun lalu saat kau datang kemari. Kelotok-kelotok itu akan segera ditambatkan tiap kali senja tiba. 

Rombongan enceng gondok yang mengapung di atas sungai Martapura itu pun akan selalu seperti itu, hanyut, terpisah lalu menumpuk dengan rombongan enceng gondok lainnya. Tapi ini bukan tentang dirimu saja, bukan?

Sebentar lagi malam akan tiba dan kau hapal sekali tentang kota ini. Tiap kali suara ayat-ayat suci Al-qur’an mulai berkumandang, bagimu itu adalah pertanda kota akan senyap dalam sesaat. 

Waktunya hanya sebentar, usai adzan maghrib, tak lama kemudian semua keramaian seperti lampu-lampu kota yang menyala penuh warna-warni.

Saat itu angin akan segera mengabarkan berita duka lewat hidungmu yang bangir dan sipit matamu akan disaput oleh badai kenangan.

Kau menunjuk ke salah satu kelotok yang baru saja melintas dari bawah jembatan, jarimu terus mengikuti arah kelotok itu hingga bersandar di salah satu rumah tepian sungai. Semua itu kau lakukan agar gadis kecil di sampingmu tahu bahwa ada pintu kenangan di sungai bawah sana. 

Lalu kau mengajak gadis itu berjalan menyusuri jembatan. Setiap jejak yang kau langkahkan membuat jantungmu berdebar. Ada peristiwa yang menusuk di matamu lalu kau berhenti sebentar untuk menenangkan debar itu. Andai gadis kecil itu tak menarik-narik lenganmu, barangkali kau tetap akan menangis.

Segera kau rengkuh gadis kecil itu lalu menggendongnya di punggungmu yang letih. Dalam keadaan seperti itu, kau biasanya akan langsung menuju dermaga kecil tempat kelotok-kelotok menambatkan muram. Kau sering seperti kelotok-kelotok itu; muram dan kesepian. 

Di dermaga kecil, masih kau temui orang-orang sibuk memasukkan barang dagangannya ke dalam kelotok. Mereka tak lagi mengenalimu. 

Kau tak peduli karena kedatanganmu ke kota ini bukan untuk dikenali. Bagimu, senja di dermaga kecil menyimpan banyak kenangan dan kau memiliki alasan sendiri untuk menikmati senja di kota ini

Jika senja tiba, sungai di hadapanmu terasa mengalir lebih lambat dan kau bisa menikmati setiap kenangan di dalamnya tanpa tergesa-gesa. Lalu datang angin yang meruapkan wangi air sungai. Sambil memegang rokmu agar tak tersingkap, kau bisa memandang lepas ke cakrawala.

Cahaya senja kau rasakan seperti menyiramkan air dingin ke wajahmu saat datang lelah yang buncah. Tapi sejak peristiwa itu, kau memunyai alasan yang tepat untuk sangat mencintai sungai di kota ini. 

Di atas kelotok, kau sisiri tepian sungai dan membantu gadis kecilmu itu mencelupkan jari tangannya ke dalam air. Kau juga membasuh wajahnya yang lelah.

“Sebentar lagi kita akan tiba,” katamu.

***

Dia bernama Phei Fang. Banyak orang mengira dia sudah mati. Tapi tidak, ketika orang mulai sepi, malam-malam, dengan tubuh yang menggigil ia menampakkan tubuhnya naik ke atas pinggiran sungai. Tanpa balutan busana, dia datangi rumah milik seorang lelaki dan meminta ijin untuk tinggal sementara bersamanya.

Rumah papan yang lapuk itu tepat berada di pinggiran sungai Martapura. Di rumah itu hanya dihuni oleh dua orang, lelaki dan anak perempuannya bernama Hasanah. 

Sebelumnya, Phei Fang sudah mengenal Hasanah. Ia sering lewat di depan tokonya untuk menjajakan roti pisang. Phei Fang geli jika mendengar Hasanah menjajakan roti pisang. “Iuoo…ruutii piiisang..,” teriak Hasanah dengan khasnya.

Ketika Phei Fang memanggil, Hasanah lalu mendekat sambil berjongkok dan meletakkan nyiru di atas lutut. Begitulah awalnya perkenalan Phei Fang dengan Hasanah. Entah kenapa Phei Fang menyukai Hasanah, apalagi ketika Hasanah menceritakan tentang hidupnya, tentang tempat tinggalnya di pinggiran sungai, sekolah yang tak usai juga tentang kematian ibunya.

Pernah Hasanah datang sambil menangis tanpa membawa roti pisang saat Phei Fang menunggunya. Hasanah menceritakan kalau baru saja ada segerombolan anak laki-laki mengganggunya saat berjualan. Mereka meminta uang, tapi Hasanah tak mau memberikannya.

Lantas tubuh Hasanah di dorong hingga terjatuh dan semua roti pisang tumpah, jatuh berserakan di tanah. Anak-anak itu menginjak-injak roti pisang dan mengancam Hasanah agar tidak boleh berjualan roti pisang di jalan yang biasanya ia lalui.

Usai Hasanah bercerita, ia melepaskan cincin kenang-kenangan pemberian ibunya sewaktu masih hidup. Bukan cincin emas sebenarnya, tapi Hasanah tidak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Hasanah berniat menjual cincin itu kepada Phei Fang untuk modal berjualan roti pisang lagi. 

Bagaimanapun, roti pisang itu didapatkan Hasanah dengan cara membelinya dari pembuat roti pisang untuk dijual kembali.

Phei Fang tertegun. Ada haru dan sedih menyaksikan ketulusan hati Hasanah. Saat itulah Phei Fang selalu ingin menghapus luka anak itu bahkan berniat menjadi orang tua asuh bagi Hasanah.

Rencananya, sebelum niat itu hendak disampaikan kepada bapaknya, Phei Fang seengaja mengajak Hasanah pergi ke sebuah mall untuk membeli semua perlengkapan sekolah. Tapi di pusat pertokoan, Phei Fang dan Hasanah histeris. 

Mereka terjebak asap. Dari balik kaca, di luar Phei Fang melihat orang-orang sudah beringas. Semua kaca-kaca mereka pecahkan. Entah apa masalahnya hingga orang-orang itu juga menyiram bensin dan membakar pusat pertokoan. 

Semua orang di dalam toko panik, begitu juga Phei Fang dan Hasanah. Mereka saling tarik, terjebak di lantai tiga. Mereka semua menghambur ke luar, tapi api sudah melilit di lantai satu. Akhirnya orang-orang memecahkan kaca yang ada di lantai tiga untuk melompat.

Saat melihat ke bawah, mereka ngeri dan takut. Tinggi sekali jaraknya. Tiba-tiba saja ada yang nekat, orang itu berteriak, lari dan langsung melompat. Dari atas, Phei Fang dan orang-orang yang terjebak berteriak histeris. 

Mereka saksikan di bawah sana, tubuh lelaki yang melompat tadi jatuh terlentang dan tak sanggup lagi bangun bahkan tubuhnya terinjak oleh orang-orang beringas di bawah sana. Phei Fang lari ke lantai bawah, menarik tangan Hasanah. 

Gumpalan asap kian sesak, Phei Fang menutup mulutnya dengan tangan. Orang-orang berdesakan saling menyelamatkan diri. Phei Fang tidak ingat kapan pegangan tangannya terlepas dari Hasanah. Semua hanya asap, mata semakin pedih, Phei Fang berteriak, memanggil-manggil Hasanah tapi suaranya tenggelam.

Dalam toko, semua orang saling memanggil, teriak, menangis dan histeris. Para lelaki memutuskan nekat menerjang gumpalan api. Ibu-ibu segera menyelimuti anak dalam gendongannya dengan gumpalan pakaian mengikuti para lelaki saat nekat menembus kobaran nyala api.

Tiba-tiba Phei Fang terkejut, dari belakang ada seorang wanita tua merangkul tubuhnya, ia terbatuk-batuk, napasnya tersenggal, jatuh tersungkur. Phei Pang menjerit ketakutan.
 

Dengan sekuat tenaga Phei Fang berusaha. Dia ikuti orang-orang menuju sebuah jendela kaca yang sudah pecah. Baju lengan kirinya robek, telapak tangannya terluka. Tapi Phei Fang tak peduli, dia menerobos kerumunan orang-orang yang berada di luar.

Dia saksikan orang-orang itu menjarah pertokoan. Phei Fang terus berlari, mengendap dari amukan massa yang semakin banyak jumlahnya. Mereka kibarkan bendera-bendera partai, mengacung-acungkan senjata tajam.

Ada beberapa orang yang memaksa Phei Fang melepaskan pakaian. Hanya dengan pakaian dalam, Phei Fang terus berlari menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang. Phei Fang bermaksud ingin bersembunyi di tokonya tapi rencana itu sia-sia ketika mengetahui orang-orang pun sudah berhasil membobol pintu toko miliknya.

Phei Fang kembali berlari, dia menuju tempat tinggal kakaknya. Di sana, hatinya pedih. Tubuh kakaknya penuh darah, di samping tubuh itu, keponakan Phei Fang menangis. Ibunya sudah menjadi mayat, dari tubuhnya ada bekas tanda luka senjata tajam.

Phei Fang segera menuju ke dalam, mengambil beberapa pakaian untuk keponakannya. Dia paksa keponakannya berhenti menangis, suara tak baik jika ada orang yang mengincar mereka.

Berdua mereka mengendap, merayapi batas dinding rumah-rumah yang berhimpit, menceburkan tubuhnya ke rawa-rawa. Phei Fang terus berusaha, tubuhnya berendam ke lubang comberan, terus berjalan sampai akhirnya Phei Fang terjun ke sungai. 

Dia terus berenang, menenggelamkan tubuhnya di dalam air. Dia keluarkan kepalanya sebentar, dia saksikan orang-orang merusak apa saja yang ada di jalanan. Lelaki, tua-muda bahkan anak-anak kecil ikut di dalamnya. Gambar-gambar partai, toko-toko, rumah-rumah mereka lempari dengan batu, merusaknya bahkan mereka membakar setelah menjarah isinya.
 

Phei Fang menyuruh agar keponakannya menghirup napas dalam, lalu menenggelamkan tubuhnya lagi ke dalam air. Terus begitu sembunyi di dalam air. Muncul lagi, tenggelam lagi, hanya itu yang bisa mereka lakukan. 

Jika naik ke atas, mereka akan menghadapi orang-orang beringas. Cukup lumayan lama mereka bertahan tapi Phei Fang heran, tubuh keponakannya itu tiba-tiba mengapung di air, napasnya berhenti, perutnya kembung, matanya terbelalak dan Phei Fang tersedak, menangis, memukul-mukul air. 

Ingin sekali Phei Fang membawa keponakannya menepi, tapi itu akan menyulitkan dirinya sendiri. Di dalam air, ia tumpahkan semua tangisnya saat terpaksa melepaskan tubuh keponakannya hanyut bersama arus sungai.

Saat senja, ketika orang-orang mulai sepi dan para polisi sudah siaga benar, sekuat tenaga Phei Fang menyusuri tiang-tiang rumah di pinggiran sungai dan berenang menuju rumah Hasanah. Tubuh Phei Fang kedinginan, kaku, seluruh persendiannya terasa lemas. 

Sekuat tenaga Phei Fang naik ke atas rumah Hasanah. Saat bapak Hasanah membuka pintu, ia terkejut dan langsung memapah tubuh Phei Fang yang ambruk. Saat siuman, Phei Fang tak sanggup menceritakan semua yang terjadi pada dirinya juga tentang nasib Hasanah saat mereka terpisah di dalam mall .

***

 Kau menarik napas dalam, menyiapkan dirimu untuk menepis rasa pahit dan kelam. Seperti tahun lalu, tiap kali kau betemu bapaknya Hasanah, ada peta kesedihan di matanya. Kau sangat merasa bersalah karena melucuti semua kebahagian lelaki itu.

Kini kau sedang berhadapan dengannya, tubuh lelaki itu semakin kurus. Kau sudah menduga, matanya pun hampa. Kau bertanya kabar meski tubuh lelaki itu sudah menjelaskan banyak hal. Sekarang ia sepi, layu dan hampa.

Kau katakan ada seseorang yang kau ajak untuk menemuinya. Dia seorang gadis kecil yang kau pungut dari salah satu panti asuhan di Surabaya. Lelaki itu tak mengerti dan kau terbata-bata menjelaskan maksud kedatanganmu kali ini.

Sudah enam bulan kau merawat gadis kecil itu. Jika selama ini ia bisa menjadi pengganti keponakanmu, barangkali gadis kecil itu juga bisa menggantikan Hasanah. Sampai di sini kau berhenti, menarik napas seperti mengumpulkan semua kekuatan.

Lelaki itu masih menunggu kalimatmu selanjutnya. Sebenarnya kau ingin menawarkan gadis kecil itu untuk merawatnya bersama-sama. Kemarin, sebelum memutuskan untuk datang ke kota ini, kau sudah menemukan kalimat terbaik bagaimana cara mengucapkannya namun mendadak semuanya begitu sulit. 

“Melihatnya aku terkenang akan Hasanah,” kata lelaki itu memecah kebisuanmu. 

“Sengaja kubawa untukmu,” lirih kau mengucapkannya sambil memandangi gadis kecil yang kau bawa kini sudah berada di dalam pangkuan lelaki itu. 

“Wajahnya mirip dengan Hasanah,” lelaki itu kemudian mencium rambut gadis kecil dalam pangkuannya. Ciuman itu lama sekali dan kau yakin itu adalah seperti ciuman yang juga sering kau lakukan kepada gadis kecil itu. 

Kesempatan baik telah datang untuk menjelaskan maksud kedatanganmu. Lelaki itu tak perlu repot membiayai hidup gadis kecil itu atau menyuruhnya berjualan roti pisang laiknya Hasanah. Kau yang akan menanggungnya.

Lelaki itu menyetujui apa yang baru saja kau katakan. Akhirnya kau harus puas, percakapan pun usai. Kau keluarkan amplop berisi uang dan segera pamit. Kau katakan pada gadis kecilmu itu  kalau kau akan sering mengunjunginya di tempat ini.

Bersama sopir kelotok kini kau kembali menuju dermaga kecil. Belum kau putuskan untuk tinggal berapa lama di kota ini. Kau pandangi sungai yang bisu.

Setiap orang yang mengetahui ceritamu pasti akan memahami kenapa kau menangis tiap kali melihat batang kayu yang larut bersama arus sungai, kau teringat tentang keponakanmu. 

Sebelum kau benar-benar meninggalkan dermaga, dari balik tasmu kau keluarkan plastik berisi bunga dan dupa.

Bunga-bunga itu kemudian larut bersama arus sungai lewat jarimu yang lentik. Dari balik tasmu kau ambil pemantik dan sesaat kemudian angin di sekitarmu meruapkan wangi dupa. Rasanya sudah cukup lengkap alasan kenapa kau mencintai kota ini dan selalu ingin kembali tapi takut untuk menetap di sini. []

Banjarbaru, 23 Mei 2011

Cerpen: Phei Fang Cerpen: Phei Fang Reviewed by admin on 21.8.24 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.